Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Download Modul Pemberdayaan Komite Sekolah pdf

Download Modul Pemberdayaan/Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah pdf

Download Modul Pemberdayaan/Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah pdf





Peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peran serta masyarakat tersebut diwujudkan dalam wadah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Agar Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat melaksanakan fungsi tersebut secara optimal, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah perlu ditingkatkan kinerjanya, melalui upaya pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Secara kuantitatif, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota telah dibentuk di hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Demikian pula, Komite Sekolah telah dibentuk di seluruh satuan pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Namun secara kualitatif, keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah memang belum sepenuhnya dapat mendorong peningkatan mutu layanan pendidikan. Salah satu faktor penyebabnya antara lain karena masih rendahnya pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) tentang kedudukan, fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Untuk meningkatkan kinerja Komite Sekolah/Madrasah, maka diluncurkan program pemberdayaan Komite Sekolah, yang akan dilakukan secara bottom-up oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Untuk itu, kegiatan TOT Fasilitator Pemberdayaan Komite Sekolah dimaksudkan untuk menyiapkan SDM-nya. Sedang untuk menyiapkan materinya, telah disiapkan Modul Pemberdayaan Komite Sekolah ini berserta paparan power point-nya.

Modul Pemberdayaan Komite Sekolah ini terdiri atas tiga tajuk, yang urutannya berbeda dengan modul yang disusun pada tahun 2009. Modul Pemberdayaan Komite Sekolah yang disusun pada tahun 2012 ini urutannya diubah menjadi: (1) Peningkatan Wawasan Kependidikan Pengurus Komite Sekolah, (2) Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah, dan (3) Peningkatan Kemampuan Organisasional Pengurus Komite Sekolah. Modul-modul tersebut disusun oleh tim penulis yang juga akan menjadi pemandu dalam kegiatan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah.

Berikut adalah tautan Download Modul Pemberdayaan Komite Sekolah: 


Download Modul Pemberdayaan/Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah pdf

Berikut adalah kutipan dari Modul Pemberdayaan/Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah tersebut:

Dalam paradigma lama, hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan profesional para guru. Dewasa ini, paradigma lama ini dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan. Keluarga memiliki hak untuk mengetahui tentang apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah. Orangtua siswa memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guru-guru mereka. Dalam paradigma transisional, hubungan keluarga dan sekolah sudah mulai terjalin, tetapi masyarakat belum melakukan kontak dengan sekolah. Dalam paradigma baru (new paradigm) hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus terjalin secara sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, termasuk untuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa di sekolah.
Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi. Komponen utama sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, kurikulum, serta fasiltias pendidikan. Selain itu, pemangku kepentingan (stakeholder) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang harus dapat bekerja sama secara sinergis dengan sekolah.
Proses penyelenggaraan pendidikan kini menggunakan pola manajemen yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Untuk itu, maka orangtua siswa, khususnya yang tergabung dalam Komite Sekolah juga harus memahami pola manajemen sekolah tersebut.
Dalam kegiatan Managing Basic Education (MBE), orangtua siswa di setiap kelas di suatu sekolah membentuk Paguyuban Kelas, yang beranggotakan orangtua siswa dengan tugas membantu guru kelas dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran
dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Ini
merupakan satu bentuk keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Oleh karena itu, Komite Sekolah perlu memahami wawasan kependidikan
tersebut.
Modul dua ini meliputi lima bagian yang saling terkait, yaitu: (1) Perkembangan
Komite Sekolah, (2) Pembentukan Komite Sekolah Berdasarkan PP Nomor 17 Tahun
2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, (3) Model Pembentukan
dan Pemilihan Pengurus Baru Komite Sekolah (4) Pelaksanaan Fungsi dan Tugas Komite
Sekolah untuk Peningkatan Mutu Layanan Pendidikan Dasar, dan (5) Membangun
Hubungan Kemitraan dan Kerja Sama Secara Sinergis Antara Komite Sekolah dengan
Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat.
Tim Penulis,
vi PENGUATAN KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
DAFTAR ISI
SAMBUTAN SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR ------- iii KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------------- v DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------------------- vii MODUL 2.1: PERKEMBANGAN KOMITE SEKOLAH ------------------------------------- 1 A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 1 B. SEJARAH KELAHIRAN KOMITE SEKOLAH ------------------------------------------------ 2 C. PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------------------ 7 MODUL 2.2: PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH BERDASARKAN PP NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ------------------------------------------------------------------------------------- 9 A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 9 B. PRAKTIK PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH -------------------------------------------- 9 C. KETENTUAN POKOK TENTANG KOMITE SEKOLAH BERDASARKAN PP NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN -------------------------------------------------------- 11 D. MEKANISME PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH BERDASARKAN PP NOMOR 17 TAHUN 2010 --------------------------------------------------------------------------------- 13 E. PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------------------ 13 MODUL 2.3: MODEL PEMBENTUKAN DAN PEMILIHAN PENGURUS BARU KOMITE SEKOLAH ------------------------------------------------------------------------------ 15 A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 15 B. MAKSUD, TUJUAN, KELUARAN (OUTPUT), HASIL (OUTCOME)PEMBENTUKAN, DAN PEMILIHAN PENGURUS BARU KOMITE SEKOLAH ------------------------------------------------------------------------------------------ 16 C. PENDEKATAN DAN METODE PELAKSANAAN ------------------------------------------ 16
D. KEGIATAN, LANGKAH KEGIATAN, DURASI, DAN KELUARAN YANG
DIHASILKAN -------------------------------------------------------------------------------------- 19
E. KEGIATAN, LANGKAH KEGIATAN, DURASI, DAN KELUARAN YANG
DIHASILKAN -------------------------------------------------------------------------------------- 19
MODUL 2.4: PELAKSANAAN FUNGSI DAN TUGAS KOMITE SEKOLAH
UNTUK PENINGKATAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN DASAR -------------------- 33
A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 33
B. PENINGKATAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN DASAR ------------------------------ 34
C. PELAKSANAAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH --------------------------------------------- 34
D. PELAKSANAAN TUGAS KOMITE SEKOLAH ---------------------------------------------- 36
E. PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------------------ 37
MODUL 2.5: MEMBANGUN HUBUNGAN KEMITRAAN DAN KERJASAMA
SECARA SINERGIS ANTARA KOMITE SEKOLAH DENGAN KELUARGA,
SEKOLAH, DAN MASYARAKAT -------------------------------------------------------------- 39
A. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------------- 39
B. SIFAT-SIFAT DASAR KEMITRAAN ----------------------------------------------------------- 39
C. PRINSIP HUBUNGAN KEMITRAAN ANTARA KOMITE SEKOLAH DENGAN
KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT --------------------------------------------- 40
D. MENGAPA PERLU KEMITRAAN -------------------------------------------------------------- 41
E. JENJANG KERJASAMA DALAM KEMITRAAN -------------------------------------------- 42
F. MEMBANGUN HUBUNGAN KEMITRAAN OLEH KOMITE SEKOLAH --------------- 43
G. PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------------------ 45
PAPARAN 2.1: PERKEMBANGAN KOMITE SEKOLAH ---------------------------------------- 46
PAPARAN 2.2: PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH BERDASARKAN PP NOMOR
17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN ------------------------------------------------------------------------------------------- 49
PAPARAN 2.3: MODEL PEMBENTUKAN DAN PEMILIHAN PENGURUS BARU
KOMITE SEKOLAH ------------------------------------------------------------------------------------ 52
PAPARAN 2.4: PELAKSANAAN FUNGSI DAN TUGAS KOMITE SEKOLAH UNTUK
PENINGKATAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN DASAR ------------------------------------ 53
PAPARAN 2.5: MEMBANGUN HUBUNGAN KEMITRAAN DAN KERJASAMA
SECARA SINERGIS ANTARA KOMITE SEKOLAH DENGAN KELUARGA, SEKOLAH,
DAN MASYARAKAT ---------------------------------------------------------------------------------- 55
viii PENGUATAN KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
MODUL 2.1:
PERKEMBANGAN KOMITE SEKOLAH
A. PENDAHULUAN
Satu hal yang patut disyukuri pada era reformasi adalah imbas positif terhadap dunia pendidikan. Otonomi Daerah yang dilegalisasi lewat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, telah menjadi rahim yang telah melahirkan desentralisasi pendidikan. Paradigma lama yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan utama (sentralisasi) dikikis sedemikian rupa menjadi paradigma baru yang lebih populis yang melibatkan peran serta masyarkat, baik dalam penentuan kebijakan pendidikan sekaligus dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Ciri desentralisasi pendidikan antara lain adalah adanya pelibatan orangtua siswa dan masyarakat dalam menentukan kebijakan pendidikan. Dua komponen ini bekerjasama dengan sekolah, duduk dalam satu meja, merencanakan dan mendiskusikan bagaimana menyelesaikan masalah pemerataan pendidikan sekaligus juga meningkatkan mutu pendidikan.
Dulu, sebelum reformasi, antara orangtua dan pihak sekolah diwadahi dalam lembaga Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Kemudian, sejak 1993, POMG berubah menjadi Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Badan inilah yang secara fungsional membantu sekolah menyelesaikan persoalan pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Namun dalam perjalanannya, badan ini sekadar berperan dalam aspek finansial. Secara hierarkis pun dikontrol oleh kepala sekolah dan menjadi alat legalitas untuk menarik berbagai pungutan kepada orangtua siswa.
Memasuki era desentralisasi pendidikan, upaya pelibatan orangtua siswa dan sekolah dalam satu wadah diperkaya lagi dengan memasukkan unsur masyarakat. Ketiga komponen ini disatukan dalam wadah Komite Sekolah sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite sekolah.
Komite Sekolah merupakan badan mandiri yang dibentuk dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. Ia menjadi ruang bagi orangtua peserta didik, masyarakat, dan pihak sekolah menyampaikan aspirasi dan merumuskan kebijakan bagi peningkatan pendidikan di
sekolah. Ia merupakan badan independen yang tidak memiliki hubungan hierarkis dengan
Kepala Sekolah. Ia menjadi mitra kepala sekolah dalam menjalankan peran dan fungsinya
dalam memajukan sekolah.
B. SEJARAH KELAHIRAN KOMITE SEKOLAH
Sejak kelahiran Komite Sekolah pada tahun 2002 berdasarkan Kepmendiknas
Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, lembaga yang dikenal
dengan Komite Sekolah telah mengalami perkembangan konsep dan kelembagaan
sebagai berikut:
1. POMG dan BP3
Latar belakang kelahiran Komite Sekolah tidak bisa dipisahkan dengan
keberadaan organisasi pendahulunya, yakni Persatuan Orangtua Murid dan Guru
(POMG) dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Secara nasional
BP3 lebih banyak digunakan, karena diatur dalam Keputusan Mendikbud Nomor
0293/U/1993 tentang Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan. Sementara
sebutan POMG dikenal sebelum Kepmendibud tersebut diterbitkan. POMG dan
BP3 inilah yang sejak lama telah ada dan berperan cukup aktif dalam memberikan
dukungan dan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Secara konseptual, lembaga ini memang memiliki segi-segi positif dan
negatif. Dari segi positif, peran BP3 kurang lebih memang sama dengan peran
Komite Sekolah yang ada sekarang. Lembaga ini sama dengan lembaga yang ada
di bebrapa negara lain, seperti Persatuan Ibu Bapa dan Guru (PIBG) di Malaysia, atau
Parent Teacher Organization (PTO) atau Parent Teacher Association (PTA) di beberapa
negara maju. Namun demikian, proses pembentukan BP3 di Indonesia terlalu
diatur dari pemerintah pusat, dengan AD/ART dan rambu-rambu program kerja
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam AD/ART tersebut ditetapkan bahwa
Kepala Sekolah berstatus sebagai pembina, dengan kedudukan berada di atas BP3
dan memiliki hubungan hierarkis dengan BP3. Meski peran BP3 memang tidak
hanya dalam aspek pemberian bantuan dalam bidang finansial atau keuangan,
namun dalam praktik di lapangan peran utama BP3 memang terbatas kepada
peran finansial tersebut.
Dalam perjalanan sejarah panjang pelaksanaan peran sebagai badan
pembantu penyelenggaaan pendidikan di sekolah, peran BP3 masih berkutat dalam
memberikan bantuan dalam bidang keuangan kepada sekolah. Bahkan peran
inilah yang kemudian menjadi stigma yang melekat pada BP3. Sampai pada suatu
saat, peran BP3 banyak diambil alih oleh kebijakan pemerintah dengan program
SD Inpres, ketika bom minyak bumi telah menghasilan dollar yang sangat besar
kepada pemerintah.
PENGUATAN 2 KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
Ketika krisis moneter menimpa beberapa negara-negara industri baru (new
industrialized countries) di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, negeri yang
memiliki kekayaan alam yang besar ini ternyata harus menelan pil pahit berupa
pinjaman ataupun bantuan dari negara atau sindikasi negara donor yang ternyata
menjadi beban yang begitu berat dalam pengembalian bunganya.
2. Komite Sekolah – Jaring Pengaman Sosial (KS – JPS)
Pada era krisis ekonomi tersebut, untuk memberikan bantuan kepada siswa
yang berasal dari keluarga kurang mampu, dengan tujuan agar tidak sampai putus
sekolah, pemerintah mengadakan satu program yang dikenal dengan Jaring
Pengaman Sosial (JPS). Untuk menentukan sasaran program JPS, dibentuklah apa
yang disebut dengan Komite Kabupaten, Komite Kecamatan, dan Komite Sekolah.
Komite Sekolah versi JPS ini sama sekali tidaklah sama dengan Komite Sekolah
versi Kepmendiknas. Jika orang bertanya tentang Komite Sekolah, maka yang perlu
ditanyakan adalah Komite Sekolah yang mana. Karena selama ini memang ada
dua nama Komite Sekolah. Pertama, Komite Sekolah yang terkait dengan program
Jaring Pengaman Sosial ini. Sebut saja dengan istilah KS-JPS. Kedua, Komite Sekolah
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002.
Komite Sekolah versi Jaring Pengaman Sosial (KS-JPS) sama sekali berbeda
dengan Komite Sekolah yang tertuang di dalam Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 044/U/2002. Ketua KS-JPS di tingkat sekolah adalah Kepala
Sekolah, dan Ketua KS-JPS di tingkat kabupaten adalah Bappeda. Dalam KS-JPS ini,
para birokrat masih menjadi pemegang kebijakan yang amat menentukan. Sedang
Ketua Komite Sekolah, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002, harus dipilih secara transparan dan demokratis, serta tidak boleh
dari unsur birokrasi. Hal ini perlu diklarifikasi lebih dahulu, karena sampai saat ini
ternyata masih ada anggapan sebagian kalangan masyarakat yang menyatakan
bahwa Komite Sekolah merupakan bentuk lain dari KS-JPS atau transformasi dari
BP3 atau POMG Kabupaten
Perbedaan antara KS-JPS dengan KS dapat diperjelas dalam tabel berikut:
Tabel 1: Perbedaan KS Nomor 044/U/2002 dengan KS - JPS
Pembeda KS – JPS KS
Dasar Hukum Ketentuan tentang
Penyaluran Dana Jaring
Pengaman Sosial (JKS)
Kepmendiknas Nomor
044/U/2002 tentang
Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah
MODUL 2.1: PERKEMBANGAN KOMITE SEKOLAH 3
Pembeda KS – JPS KS
Kedudukan
Organisasi
1. Komite Kabupaten/Kota
2. Komite Kecamatan
3. Komite Sekolah
1. Dewan Pendidikan di
tingkat kabupaten/
kota
2. Komite Sekolah di
tingkat satuan pendidikan
3. Dapat saja dibentuk di
tingkat provinsi atau di
tingkat kecamatan.
Kepengurusan dan
keanggotaan
1. Ketua di tingkat kabupaten/
kota: Kepala
Bappeda
2. Ketua di tingkat kecamatan:
Kepala Cabang
Dinas Kecamatan
3. Ketua di tingkat sekolah:
Kepala Sekolah
Ketua tidak boleh dari
unsur birokrasi, dipilih
secara demokratis dan
transparan.
Proses penentuan
pengurus dan
anggota
Ditetapkan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah
Dipilih secara demokratis
dan transparan dalam
rapat pemilihan pengurus.
Tugas dan kegiatan Menentukan sekolah yang
akan menerima dana JPS,
dan menyalurkan dana
kepada yang berhak
menerima
Wadah mandiri peran
serta masyarakat
untuk meningkatkan
penyelenggaraan dan
peningkatan mutu
pendidikan di sekolah
Masa berlakunya Akan berakhir jika proyek
Jaring Pengaman Sosial (JPS)
selesai.
Masa berlakunya
tergantung kepada AD
dan ART berdasarkan atas
kebutuhan masyarakat.
Sumber: dari berbagai referensi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Komite Sekolah yang dibahas dalam buku
ini tidak lain adalah Komite Sekolah versi Kepmendiknas Nomor 044/U/2002. Komite
Sekolah inilah yang benar-benar diharapkan dapat menjadi lembaga mandiri yang
PENGUATAN 4 KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
menjadi wadah peran serta orangtua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah.
Namun demikian, keberadaan KS-JPS dapat saja dijadikan sebagai embrio
kelahiran Komite Sekolah yang sebenarnya, seperti keberadaan BP3 atau POMG,
yang juga dapat dijadikan sebagai embrio kelahiran Komite Sekolah di suatu sekolah,
atau setidaknya dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran dan pertimbangan dalam
proses pembentukan Komite Sekolah.
Dengan tegas dinyatakan dalam Kepmendiknas tersebut bahwa Komite
Sekolah adalah “badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam
rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di
satuan pendidikan”. Dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tersebut ditegaskan
bahwa Dewan Pendidikan (DP) berkedudukan di kabupaten/kota, sedang Komite
Sekolah (KS) berkedudukan di satuan pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun
pendidikan luar sekolah.
3. Kelahiran Komite Sekolah
Ketentuan tentang Komite Sekolah tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas merupakan ibu yang
melahirkan Komite Sekolah. Dalam hal ini Bappenas yang berhasil memfasilitasi
perumusan ketentuan tersebut berdasarkan hasil studi banding di berbagai negara
yang maju, seperti Kanada.
Setelah melalui proses pembahasan yang cukup panjang, akhirnya istilah
itu berubah menjadi Komite Sekolah sebagaimana tertuang dalam Keputusan
Mendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah. Mulanya istilah yang akan digunakan untuk Komite Sekolah adalah
Komite Pendidikan. Namun akhirnya ditetapkan dengan istilah Komite Sekolah.
Nama ini diadopsi dari nama School Board atau School Council dan Board of Education
yang ada di beberapa Negara maju seperti di Kanada dan Amerika Serikat.
Dengan demikian, Komite Sekolah lahir dari rahim Propenas. Sedang
kelahirannya dibidani oleh Departemen Pendidikan Nasional bersama Bappenas,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, yang akhirnya berhasil melahirkan
Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah.
Dalam proses pembahasan nama tersebut, disepakati pula bahwa nama
Komite Sekolah adalah nama generik. Artinya, nama itu adalah nama substansi.
Sedang nama organisasinya digunakan nama lain yang disepakati bersama pada
MODUL 2.1: PERKEMBANGAN KOMITE SEKOLAH 5
saat proses pembentukan lembaga ini secara transparan, demokratis, dan akuntabel.
Karena itu, setiap daerah dan sekolah diberi kebebasan untuk menentukan nama
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Seperti di Provinsi Jawa Barat,
lebih banyak digunakan nama Dewan Pendidikan untuk tingkat kabupaten/kota,
dan nama Dewan Sekolah untuk satuan pendidikan. Di Madrasah Ibtidaiyah Negeri
Malang, ternyata lebih menyukai nama Majelis Sekolah untuk tingkat satuan
pendidikan, sebagaimana digunakan di madrasah-madrasah yang dibina oleh
Departemen Agama.
Pada perkembangan selanjutnya, keberadaan Komite Sekolah diperkuat
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
4. UU Nomor 22 Tahun 1999 jo. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Mempercepat Kelahiran Komite Sekolah
Kelahiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan
titik awal (starting point) perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia, yakni
dari sentralisasi ke desentralisasi. Berdasarkan UU ini, urusan pendidikan telah
banyak yang diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Urusan pendidikan
yang masih menjadi urusan pemerintah pusat tinggal enam hal, yaitu:
a. penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar,
b. pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional
serta pelaksanaannya,
c. penetapan standar materi pelajaran pokok,
d. menjaga keberhasilan proses pendidikan yang bermutu,
e. pengaturan dan pengembangan pendidikan jarak jauh,
f, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Meskipun sebagian besar kewenangan dalam urusan pendidikan telah
dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, namun antara pemerintah pusat
dan daerah tidak berarti lepas atau tidak ada hubungan sama sekali. Kewenangan
pemerintah pusat dalam penetapan standar, norma, dan acuan bagi daerah dapat
menjadi media yang amat efektif untuk tetap menjalin hubungan dan kerjasama
antara pemerintah pusat dan daerah.
Pada era desentralisasi pendidikan, peran serta orangtua dan masyarakat
diharapkan akan semakin bertambah besar. Peningkatan peran serta orangtua dan
masyarakat ini menjadi penting, dengan dua asalan sebagai berikut:
Pertama, peran orangtua dan masyarakat yang selama ini telah diberikan
kepada sekolah swasta, ternyata telah berhasil mendongkrak mutu pendidikan
PENGUATAN 6 KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
swasta. Sebagaimana kita ketahui, sekolah swasta, lembaga pendidikan swasta
dalam berbagai hal ternyata justru lebih berkualitas dibandingkan dengan sekolah
negeri, misalnya Lembaga Pendidikan Al Azhar, Lembaga Pendidikan Al Izhar,
Lembaga Pendidikan Pangudiluhur, Lembaga Pendidikan Pelita Harapan, dan
masih banyak yang lainnya.
Kedua, pelibatan peran serta orangtua dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan akan menjadi lebih efektif dengan adanya sinergi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut, pelaksanaan otonomi daerah
dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 pada hakikatnya dapat disebut sebagai
otonomi masyarakat. Dengan pertimbangan ini, maka kebijakan pemerintah
tentang pendidikan berbasis masyarakat luas (broad-based education), partisipasi
pendidikan berbasis masyarakat (community-based participation), danatau
pembentukan Komite Sekolah, pada hakikatnya selaras dengan konsepsi otonomi
daerah sebagaimana dituangkan di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang sekarang
telah disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.
Salah satu alasan perlunya desentralisasi dan otonomi pendidikan digulirkan
antara lain adalah untuk memperpendek jarak antara pusat dan daerah. Dengan
otonomi pendidikan, permasalahan yang terjadi di nun jauh di daerah tidak harus
menunggu penanganan oleh pemerintah pusat, tetapi dalam dipecahkan sendiri
oleh daerah, bahkan oleh sekolah. Berbagai ragam masalah sekolah, misalnya
tentang atap bocor, cat gedung sekolah yang sudah mulai kusam, dan kertas
atau alat tulis kantor (ATK) yang diperlukan oleh tata usaha atau diperlukan untuk
membuat soal oleh para guru, tidaklah harus menunggu bantuan dari pusat.
Kepentingan semacam itu seyogyanya dapat diputuskan sendiri oleh sekolah
bersama-ama Komite Sekolah, bukan oleh Dinas Pendidikan Kecamatan ataupun
Kabupaten/Kota.
C. PENUTUP
Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.Komite
Sekolah berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, sekaligus memperhatikan dan menindaklanjuti
terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap satuan pendidikan.
Konsep Komite Sekolah tersebut, bertujuan pada peningkatan mutu pendidikan
untuk lahirnya generasi Indonesia yang lebih baik. Namun demikian, dalam perjalanannya,
ternyata masih banyak komite sekolah yang belum bisa dijalankan sesuai harapan.
Hal ini karena relasi antara pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat (Tripusat Pen-
MODUL 2.1: PERKEMBANGAN KOMITE SEKOLAH 7
didikan) di Indonesia masih berkisar antara paradigma lama dan transisional. Indikasinya
adalah sebagai berikut: (1) Keluarga, sekolah, dan masyarakat masih memandang hasil
belajar siswa lebih pada sisi kemampuan akademik dan pengetahuan, (2) Hubungan keluarga
dan sekolah masih bersifat satu arah, hierarkis, dan birokratis, (3) Antara keluarga
dan sekolah masih bersifat saling defensif, (4) Perbedaan kultural dan sosial masih kurang
mendapatkan perhatian secara wajar, (5) Sekolah sering memandang masyarakat sebagai
orang lain atau pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan.
Paradigma tersebut sangat memengaruhi perjalanan Komite Sekolah. Bahkan
terjadi pula “ketegangan-ketegangan” seputar relasi antara Komite Sekolah dan Kepala
Sekolah. Di lapangan, pada sejumlah kasus, Komite Sekolah hanya sebagai “stempel”
Kepala Sekolah. Ia menjadi alat legalisasi Kepala Sekolah dalam menentukan berbagai
kebijakan di sekolah. Di kutub berbeda, Komite Sekolah memosisikan diri lebih superior
ketimbang Kepala Sekolah. Apapun gerak-gerik Kepala Sekolah diawasi. Bila Kepala
Sekolah melakukan kesalahan sekecil apapun, Komite Sekolah akan mengadukannya
kepada Dinas Pendidikan setempat. Kalau perlu, diusulkan untuk diganti.
Fenomena di atas tentu masih jauh dari harapan bersama. Dan karena itu perlu
ada pendekatan-pendekatan solutif untuk meminimalisirnya. Satu di antaranya adalah
sosialiasi dan pembinaan terhadap pengurus Komite Sekolah.
Ada sebuah adegan film yang baik untuk menggambarkan salah satu peran Komite
Sekolah, dan pernah disosialisasikan dalam kegiatan Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah (DP/KS). Dalam film ini diceritakan, seorang guru berpenampilan sederhana
masuk kelas, dan terlihatlah oleh beliau buku anak-anak yang terkena cucuran air hujan
dari atap yang bocor. “Bocor nih”, kata sang guru. “Iya Pak”, jawab serempak anak-anak.
Alhasil, kepala sekolah dan Komite Sekolah mengadakan rapat untuk membicarakan
masalah tersebut, dan disepakatilah untuk mengadakan kerja bakti untuk memperbaiki
genting yang bocor itu. Secara kebetulan, salah seorang alumni sekolah itu telah menjadi
pengusaha yang sukses yang ingin melihat alamamaternya tetap dapat memberikan
inspirasi bagi kehidupannya. Ada pula pengusaha lain yang bertanya-tanya tentang
bagaimana caranya supaya dirinya dapat ikut berperan serta dalam memperbaiki sekolah
itu. Alhamdulillah, gedung sekolah akhirnya dapat direhabilitasi, dan kemudian dapat
digunakan lagi untuk tempat belajar anak-anak.
Melalui konsep Komite Sekolah ini, semoga kita bisa turut serta memberikan yang
terbaik bagi generasi Indonesia. Karena seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Mendidik anak
itulah mendidik rakyat. Keadaan hidup dan kehidupan kita zaman sekarang, itulah
buah pendidikan yang kita terima dari orangtua pada waktu kita masih anak-anak”.
PENGUATAN 8 KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
MODUL 2.2:
PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAHBERDASARKAN
PP NOMOR 17 TAHUN
2010TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Salah satu kebijakan pendidikan penting yang diluncurkan pemerintah pada
tahun 2002 adalah pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah diharapkan antara lain dapat menjadi wadah peran serta
masyarakat dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Itulah sebabnya maka
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan telah mengatur antara lain mengenai Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
untuk menyempurnakan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Permendiknas Nomor
044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Pada tahun anggaran 2012 ini, materi pelatihan tersebut dilakukan penyempurnaan,
baik dari segi substansi maupun sistematikanya. Berdasarkan hasil diskusi pembahasan
tentang materi tersebut, tim penulis telah menyepakati untuk selain menambah beberapa
materi juga melakukan perubahan urutan penekanan materi sebagai berikut: (1) modul
pertama Peningkatan Wawasan Kependidikan Pengurus Komite Sekolah, (2) modul kedua
Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah, dan (3) modul ketiga Peningkatan Kemampuan
Organisasional Komite Sekolah.
Salah satu tema yang tertuang dalam modul kedua Penguatan Kelembagaan
Komite Sekolah adalah “Pembentukan Komite Sekolah Berdasarkan PP Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan”.
B. PRAKTIK PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAH
Sampai dengan penerbitan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, proses pembentukan Komite Sekolah di masing-masing
satuan pendidikan sekolah masih juga beraneka ragam. Ada Kepala Sekolah yang
menunjuk sendiri keanggotaan Komite Sekolah untuk sekolahnya. Ada Kepala Sekolah
yang menyerahkan proses pembentukan Komite Sekolah kepada beberapa orang tua
siswa yang yang demikian aktif dalam memilih dan menentukan anggota pengurus
Komite Sekolah bagi sekolah tempat anaknya belajar. Demikianlah, akhirnya telah
terbentuk Komite Sekolah yang beraneka ragam. Ada Komite Sekolah yang seakanakan
menjadi seperti atasan Kepala Sekolah, yang fungsinya lebih banyak memberikan
pengawasan kepada Kepala Sekolah. Sebaliknya, ada pula Komite Sekolah “stempel” yang
hanya mengikuti perintah dari Kepala Sekolah.
Setelah terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan yang antara lain mengatur tentang pembentukan Komite
Sekolah, praktik pembentukan Komite Sekolah yang beraneka ragam itu sudah barang
tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, proses pembentukan Komite Sekolah harus
mengacu kepada ketentuan yang berlaku, yang dahulu dikenal dengan Kepmendiknas
Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dan yang sekarang
dengan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
1. Pembentukan Komite Sekolah Menurut Kepmendiknas Nomor 044/U/2002
Sebelum terbit PP Nomor 17 Tahun 2010, proses pembentukan Komite
Sekolah mengacu kepada Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Proses pembentukan Komite Sekolah dikenal
dengan “Tujuh Langkah Pembentukan Komite Sekolah” sebagai berikut:
Langkah Pertama, sosialisasi Komite Sekolah. Proses sosialisasi Komite
Sekolah diawali dengan penjelasan singkat tentang Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
yang menjelaskan tentang latar belakang kelahiran kebijakan tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah.
Langkah kedua, penyusunan kriteria dan identifikasi calon anggota
berdasarkan usulan dari ketiga unsur komite sekolah, yakni orangtua siswa/wali
siswa, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan. Bakal calon yang diusulkan tidak
harus berdomisili di lingkungan sekolah, namun diketahui memiliki keterikatan
batin dengan sekolah (misalnya alumni sekolah tersebut).
Langkah ketiga, seleksi bakal calon anggota yang diusulkan ketiga unsur
komite sekolah, berdasarkan kriteria yang disepakati bersama pada langkah kedua.
Langkah keempat, pengumuman bakal calon anggota yang telah diseleksi
pada langkah ketiga, dan yang menyatakan kesediaannya dicalonkan sebagai
calon anggota Komite Sekolah. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya
keberatan dari masyarakat terhadap satu atau lebih bakal calon.
Langkah kelima, penyusunan nama-nama calon anggota yang dinyatakan
resmi sebagai calon anggota komite sekolah.
Langkah keenam, pemilihan anggota dan pengurus Komite Sekolah dalam
rapat orang tua/wali peserta didik satuan pendidikan. Pemilihan dapat dilakukan
PENGUATAN 10 KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH
dalam suatu forum pemilihan yang dilaksanakan, baik secara musyawarah mufakat
maupun melalui pemungutan suara.
Langkah ketujuh, penyampaian nama-nama anggota Komite Sekolah dan
struktur organisasinya kepada kepala satuan pendidikan untuk diterbitkan surat
keputusan kepala satuan pendidikan tentang Komite Sekolah. Panitia persiapan
memfasilitasi pengukuhan terbentuknya Komite Sekolah, dan selanjutnya panitia
pemilihan dinyatakan bubar.
Langkah-langkah pembentukan Komite Sekolah seperti yang diuraikan di
atas adalah langkah-langkah pembentukan Komite Sekolah untuk pertama kali,
atau pembentukan ulang Komite Sekolah, yang sebelumnya tidak dilaksanakan
berdasarkan ketentuan tentang pembentukan Komite Sekolah yang baku.
2. Ragam Lain Yang Tidak Mengacu Kepada Ketentuan Yang Berlaku
Ragam lain yang tidak mengacu kepada ketentuan, baik ketentuan dalam
Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
maupun PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, masih terjadi karena beberapa sebab. Salah satu sebab adalah karena
ketidaktahuan tentang ketentuan yang berlaku, atau karena ketergesa-gesaan
dalam memenuhi ketentuan yang berlaku. Misalnya, sekolah akan memperoleh
subsidi atau bantuan sosial jika telah memenuhi persyaratan memiliki Komite
Sekolah. Untuk memenuhi persyaratan ini, maka Kepala Sekolah segera menerbitkan
SK tentang Komite Sekolah dengan tidak melaksanakan proses pemilihan Komite
Sekolah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
C. KETENTUAN POKOK TENTANG KOMITE SEKOLAH BERDASARKAN PP NOMOR 17 TAHUN
2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Berikut ini dijelaskan beberapa ketentuan pokok tentang pembentukan atau
pemilihan Komite Sekolah yang tertuang dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagai berikut:
1. Jumlah Dan Unsur-Unsur Anggota Pengurus Komite Sekolah
Berdasarkan Pasal 197 (1) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan dijelaskan bahwa:
“Anggota Komite Sekolah/Madrasah berjumlah paling banyak 15 (lima belas) orang,
terdiri atas unsur:
a. orang tua/wali peserta didik paling banyak 50% (lima puluh persen);
b. tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen); dan
c. pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30% (tiga puluh persen)”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jumlah anggota pengurus Komite Sekolah
MODUL 2.2: PEMBENTUKAN KOMITE SEKOLAHBERDASARKAN PP NOMOR 17 TAHUN 2010TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN 11
yang akan dibentuk di satuan pendidikan sekolah paling banyak adalah 15 orang.
2. Masa Jabatan
Dalam pasal berikutnya, yakni Pasal 197 (2), dijelaskan bahwa “masa jabatan
keanggotaan Komite Sekolah/Madrasah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis
seperti ini dimasukkan ke dalam AD/ART Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
3. Ketentuan Pengunduran Diri Atau Pembentukan Sebagai Pengurus
Dalam pasal berikutnya pula, yakni Pasal 197 (3), dijelaskan bahwa “Anggota
Komite Sekolah/Madrasah dapat diberhentikan apabila (a) mengundurkan diri; (b)
meninggal dunia; atau (c) tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan
tetap; (d) dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
4. Susunan Kepengurusan
Berkenaan dengan susunan kepengurusan Komite Sekolah/Madrasah, dalam
Pasal 197 (4) dijelaskan bahwa “Susunan kepengurusan Komite Sekolah/ Madrasah
terdiri atas ketua komite dan sekretaris”
Ketentuan tersebut tentu saja dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang
berlaku, misalnya kebutuhan akan perlunya Bendahara Komite Sekolah, atau
pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya.
5. Proses Pemilihan
Dalam Pasal 197 (5) dijelaskan tentang proses pemilihan Komite Sekolah
sebagai berikut: “Anggota Komite Sekolah/Madrasah dipilih oleh rapat orangtua/
wali peserta didik satuan pendidikan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah “siapa yang
mengadakan rapat tersebut”. Apakah Kepala Sekolah, atau orangtua/wali peserta
didik setelah berkonsultasi dengan Kepala Sekolah. Oleh karena itu, sesuai dengan
mekanisme pembentukan Dewan Pendidikan, proses pemilihan anggota Dewan
Pendidikan dilakukan oleh satu panitia yang dinamakan Panitia Pemilihan. Dengan
demikian, rapat orangtua/wali peserta didik dapat diadakan oleh Panitia Pemilihan
setelah berkonsultasi dengan Kepala Sekolah.
6. Pemilihan Ketua dan Sekretaris Komite Sekolah
Berdasarkan Pasal 197 (5) disebutkan sebagai berikut: “Ketua dan sekretaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipilih dari dan oleh anggota secara
musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara”.

Demikian tulisan tentang:

Download Modul Pemberdayaan/Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah pdf .

Semoga bermanfaat dan salam sukses selalu!!


Posting Komentar untuk "Download Modul Pemberdayaan Komite Sekolah pdf"