Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ibu Guru Terbaik | Kisah Inspiratif Guru




Kisah ini saya sadur dari inspire21.com. Mengingat setting ceritanya di luar negeri, maka menterjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi tidak pas dengan setting yang ada di tempat kita. Walhasil, cerita ini harus disadur. Disesuaikan dengan konteks yang ada di Indonesia. Saya merasa perlu menuliskan kisah ini karena kisahnya sangatlah inspiratif. Percaya atau tidak, saya sendiri sampai menangis membacanya (puk...puk...puk). Seperti biasa, jika ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, maka itu hanyalah kebetulan belaka. Mari kita simak ceritanya:

Alkisah ada seorang guru sekolah dasar yang bernama Bunga Sundari. Beliau biasa dipanggil Ibu Bunga oleh murid-murid dan rekan-rekan gurunya. Ibu Bunga adalah sosok guru yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Sudah 25 tahun ia mengabdikan diri sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Perawakannya sedang, wajahnya kalem, tutur katanya lembut. Sungguh menampakkan sebagai pribadi yang sederhana namun berwibawa.

Ibu Bunga mengajar di kelas lima. Hari itu adalah hari pertama tahun ajaran baru. Seperti biasa, beliau memperkenalkan dirinya di depan kelas dengan penuh semangat dan kehangatan. Namun, kesemangatan dan antusiasme Ibu Bunga mendadak menurun. Ia merasa sedikit terganggu dengan pemandangan yang ada persis di hadapannya. Ya, ia melihat seorang murid yang wajahnya kuyu dan dekil. Penampilannya sungguh memprihatinkan. Merasa terganggu, Ibu Bunga pun lantas menanyakan nama anak itu. Anak berwajah kuyu dan berpenampilan memprihatinkan itu lantas memperkenalkan dirinya. Ponco Trianto. Ya, nama sederhana yang sangat Jawa.

Sebenarnya Ibu Bunga sudah memperhatikan anak itu satu tahun sebelumnya. Namun, ia tidak cukup peduli dengan keberadaan anak itu karena pada saat itu Ibu bunga belum mengajarnya. Kesan yang didapatkan dari Ponco adalah bahwa dia jarang bermain dengan teman-temannya. Kesan kuyu dan penampilan memprihatinkan juga sudah ia temui sejak satu tahun yang lalu.
Waktu berlalu, dan sudah satu semester Ibu Bunga mengajar kelas lima. Hal yang membuat ia gusar adalah nilai raport Ponco. Banyak mata pelajaran yang tidak memenuhi kriteria ketuntasan. Terdorong oleh rasa penasaran, Ibu Bunga kemudian melihat nilai-nilai dan catatan-catatan Ponco sebelum kelas lima.

Ibu Bunga sangat terkejut melihat catatan Ponco sebelum  berada di kelas lima. Pada saat kelas  satu, prestasi sekolahnya terbilang bagus. Dari catatan guru kelas satu ditulis bahwa Ponco adalah anak yang trengginas, cerdas, dan bermasa depan gemilang. Guru kelas duanya mencatat, “Ponco adalah anak trengginas, cerdas, ceria, namun dia seringkali kehilangan fokus pada saat di kelas karena ibunya sakit.”

Catatan-catatan positif Ponco pada tahun-tahun sebelumnya membuat Ibu Bunga semakin penasaran. Lantas, ia pun melanjutkan melihat catatan Ponco di kelas tiga. Namun kali ini Ibu Bunga sedikit tertegun saat melihat catatan guru kelas tiganya. Dituliskan bahwa kehilangan ibu merupakan pukulan hidup yang sungguh telak untuk dialami anak sekecil Ponco. Dia mencoba semampunya untuk urusan sekolahnya. Namun sepertinya ayahnya tidak banyak membantu, ia masih larut dalam kesedihan dan sangat frustrasi sepeninggal isterinya. Prestasi Ponco di sekolah akan sangat terganggu bila tidak ada tindakan dari rumah yang menunjang belajarnya di sekolah.

Ibu bunga lantas merasa iba dan berusaha berempati terhadap apa yang dialami Ponco. Anak kecil dengan beban hidup yang luar biasa berat untuk anak seusianya. Tak terasa buliran bening mengalir dari sudut matanya. Kembali Ibu Bunga melanjutkan catatan Ponco di kelas empat. Catatannya sungguh memprihatinkan. Ditulis bahwa Ponco sudah tidak lagi menunjukkan minatnya bersekolah, dijauhi teman-teman, dan sering tertidur di kelas.

Sejenak  tercekat, ia mengingat apa yang telah dilakukannya terhadap Ponco. Seringkali ia mengeluarkan kata-kata menyakitkan saat melihat polah tingkah Ponco yang sangat apatis terhadap lingkungan kelas. Ini pertama kali dalam perjalanan kariernya ia mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya berlebihan. Demi menumpahkan kekesalannya, ia juga sering membandingkan Ponco dengan teman-temannya secara terang-terangan di depan kelas.

Ia juga masih ingat betul pada saat Ponco menunggu di depan gerbang sekolah demi menunggunya pulang hanya untuk mengatakan bahwa dirinya sangatlah mirip dengan ibunya, gayanya, tutur katanya, gelang yang dipakainya bahkan bau parfum yang disemprotkan ke tubuhnya. Dengan cueknya, ia tidak menanggapi kata-kata tulus yang keluar dari mulut Ponco dan hanya mengatakan, “maaf, Ponco, saya harus segera pulang”.

Sungguh Ibu Bunga merasa malu mengingatnya, buliran-buliran air bening dari sudut matanya kembali mengalir. Kali ini bertambah deras. Ibu Bunga kemudian memohon ampun kepada Tuhan atas apa  yang telah dilakukannya. Lantas ia bertekad untuk tidak lagi mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Saat itu ia memutuskan untuk mendidik anak. Ya, Ibu Bunga mendefinisikan kembali pekerjaannya dan menganggap bahwa anak adalah subjek, bukan objek dari pekerjaannya.

Ibu Bunga kemudian memutuskan untuk memberi perhatian yang lebih kepada Ponco. Ia sudah tidak bernafsu lagi mengeluarkan kata-kata nylekit kepadanya. Ia juga berhenti membanding-bandingkan Ponco dengan teman-temannya yang lain. Ibu Bunga juga memutuskan untuk memberi pelajaran tambahan untuk Ponco setelah sekolah usai. Dengan penuh kesabaran dan perhatian yang tulus, Ibu Bunga pelan-pelan menemukan Ponco yang “asli”.  Ia mulai menunjukkan jati dirinya sebagai murid yang cerdas. Ponco bahkan mengungguli semua temannya di bidang akademis. Perubahan perilaku juga tergambar jelas. Ponco mulai aktif di kelas, tidak tertidur pada saat pelajaran, dan mulai bermain kembali secara normal dengan teman-teman sebayanya di sekolah. Pada saat penerimaan raport kenaikan kelas, Ibu Bunga menuliskan sesuatu yang sederhana,”Nak, perjuangkanlah hidupmu. Ibu selalu mendoakanmu.”

Satu tahun berselang, Ponco sudah lulus SD. Ibu Bunga terkejut saat melihat selembar kertas di pintu rumahnya bertuliskan, “Ibu Bunga adalah guru terbaikku.”




Enam tahun berselang sejak lulus SD, Ponco sudah lulus SMA. Kembali Ibu Bunga menerima surat bertuliskan, “Ibu, aku sekarang sudah lulus SMA. Aku diterima di sekolah dinas kemiliteran. Ibu Bunga, Ibu adalah guru terbaikku.”

Empat tahun setelahnya, kembali Ibu Bunga menerima surat bertuliskan,”Ibu, aku sudah lulus jadi perwira. Aku memperoleh penghargaan dari pemimpin tertinggi negeri ini sebagai lulusan terbaik. Ibu Bunga, Ibu adalah guru terbaikku.”

Dua tahun kemudian, datang lagi sepucuk surat dari pengirim yang sama bertuliskan, “Ibu, hari ini aku ditugaskan negara untuk kuliah di luar negeri, di perguruan tinggi yang paling bergengsi di negeri Ratu Elizabeth. Sebelum berangkat, sudikah kiranya Ibu mendampingiku di pesta pernikahanku? Ibuku sudah tiada, ayah juga telah meninggal. Tak ada yang sepantas Ibu menggantikan posisi ibuku yang telah tiada di pesta pernikahanku.”

Ibu Bunga membaca surat tersebut dengan mata berkaca-kaca. Pada hari pesta pernikahan itu, Ibu Bunga memilih memakai parfum dan gelang yang sama. Dua benda yang mengingatkan Ponco pada ibu kandungnya.

Keduanya lantas bertemu pada pesta pernikahan Ponco. Dengan penuh takzim, Ponco mencium tangan Ibu Bunga sembari berkata lirih, “Terima kasih, Ibu Bunga. Ibu telah membuatku terlahir kembali. Ibu meyakinkanku bahwa aku dapat membuat hidupku lebih berarti. Entah apa yang dapat aku perbuat untuk membalas segala kebaikan Ibu. Semoga Tuhan memberi balasan yang jauh berlipat-lipat.” Dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat, Ibu Bunga kemudian membalas, ”Ponco anakku, kamu salah. Justru kamulah yang membuat hidup Ibu lebih berarti. Kamulah yang membuat Ibu menemukan kembali kesejatian Ibu sebagai seorang hamba Tuhan dan sebagai seorang guru.”

Posting Komentar untuk "Ibu Guru Terbaik | Kisah Inspiratif Guru"